Memilih Pemimpin Pembangun
Menyongsong Pilkada Kota Yogyakarta
Pesta demokrasi
baik pemilihan DPR, presiden, gubernur maupun walikota dan bupati adalah
pesta. Tahun depan Kota Yogyakarta akan
melakukan pesta demokrasi untuk mencari pemimpin. Banyak manuver yang dilakukan
banyak kalangan memunculkan calon-calon untuk segera dikenalkan kepada publik.
Bentuk uforia masyarakat dan kalangan tertentu baik partai maupun komunitas
sudah memulai melakukan manuver. Semacam melakukan proses penjaringan dan juga
seleksi secara independent maupun internal. Tetapi ada juga yang mencoba hadir
sebagai sosok yang ingin maju dengan kekuatan sendiri, tentunya dengan
slogan-slogan terbaik. Baliho terpasang di sudut-sudut jalan kota. Baik tokoh
baru maupun tokoh lama yang sudah pernah maju, bahkan masih aktif memimpin.
Hal ini, terkadang
hanya sebuah kegiatan komtemporer, ada banyak alasan sebenarnya yang dilakukan
oleh banyak kalangan. Salah satu indikasinya adalah pamer kekuatan kelompok,
baik partai maupun komunitas independent. Hingga pada akhirnya akan merasa
menjadi pahlawan yang paling depan dalam perjuangan mencalonkan tokoh tertentu.
Masyarakat bawah yang notabene berperan paling penting untuk menjadikan tokoh
tersebut memimpin tetap saja hanya disuguhi slogan dan janji. Tahun 2017 Kota
Yogyakarta harus mempunyai pemimpin yang membangun, bukan sekadar menjadi
pemimpin bagi golongannya sendiri. Sebab sejauh ini, banyak masyarakat yang
pada saat pesta demokrasi berseberangan dengan tokoh yang terpilih, maka nasib
mereka kurang diperhatikan. Dalam hal ini arti membangun yang saya ungkapkan
adalah membangun segala aspek. Tidak hanya membangun fisiknya saja, sebab Kota
Yogyakarta masih banyak lini yang harus menjadi perhatian bagi pemimpinnya.
Soal mental masyarakatnya, keamanan, infrastruktur, kemiskinan dan lain
sebagainya. Satu hal yang lebih penting adalah, pemimpin yang siap memberikan
pelayanan 24 jam plus bagi masyarakatnya. Tidak hanya saat jam kantor saja
pemimpin siap melayani. Sebab kedekantan masyarakat antara pemimpin lebih
nyaman terjalin di luar gedung megah yang dibangun dari pajak rakyat.
Masyarakat juga harus dilibatkan secara maksimal dalam membangun sebuah daerah.
Tidak hanya sebagai penikmat pembangunan yang kadang justru pembangunan itu
membuat masyarakat terganggu.
Dua hal yang
masyarakat mesti tau dalam menentukan dukungannya. Hal pertama adalah pemimpin
harus memahami betul tentang manajemen pemerintahan. Bagaimana pemimpin itu
mengatur dan menempatkan pejabat-pejabat terbaik sesuai dengan ilmunya. Bukan
justru penempatan pejabat karena kedekatan atau hal lainnya. Kedua msyarakat
juga tidak boleh silau karena tingkat elektabilitas calon pemimpin yang
mengikuti kontes pemilihan. Sebab tingkat elektabilitas dan popularitas tidak
menjamin setelah terpilih bisa menjadi pemimpin yang cerdas dalam menyikapi
semua persoalan yang terjadi. Tidak jarang tingginya tingkat elektabilitas dan
popularitas hanya setrategi dari tim masing-masing calon. Apalagi Kota
Yogyakarta sebagai ibukota pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai
persoalan yang kompleks. Manajemen seorang pemimpin harus sangat mumpuni, kalau
tidak jangan-jangan yang terjadi justru kemunduran.
Menuju pemilihan
walikota dan wakil walikota tahun 2017 banyak nama calon muncul. Sebut saja
Garin Nugroho, sutradara film kondang itu maju dari jalur independent. Kemudian
dari jalur partai muncul dua tokoh incumbent, Haryati Sayuti dan Imam Priyono.
Ada juga nama dari calon partai dan mungkin sosok baru, ada Fuad Andreago, Arif Nur Hartanto dan
sederet nama lain. Bahkan Garin sudah dideklarasikan oleh komunitas dari jalur
independent akan berdampingan dengan Rommy Heryanto. Pasangan ini harus
mengumpulkan sedikitnya 26 ribu dukungan dengan syarat Kartu Tanda Penduduk (KTP)
dari masyarakat. Munculnya jalur independent tahun 2017 pemilihan walikota dan
wakil walikota Kota Yogyakarta, adalah warna baru dalam kancah pesta demokrasi
di Kota Yogyakarta. Tahun-tahun sebelumnya hanya calon-calon kader terbaik menurut
partai yang muncul, bukan kader terbaik menurut masyarakat. Kedepan mungkin masih
akan muncul lagi tokoh lain dari jalur independet. Hal ini sangat memberikan
warna dan tantangan bagi masyarakat untuk memberikan dukungan dan memilih
pemimpin terbaiknya. Jangan sampai seperti pepatah “membeli kucing dalam
karung”. Asal comot atau asal pilih setelah dipilih justru marah-marah karena
pilihannya keliru. Ini yang sering terjadi setelah merasakan perjalanan
pemimpin yang dipilihnya.
Dalam hal ini,
saya yakin bahwa masyarakat Kota Yogyakarta sudah menjadi masyarakat yang
cerdas dalam menentukan pemimpinnya. Artinya, kedepan diharapkan akan muncul
pemimpin yang benar-benar sebagai pemimpin pembangun Kota Yogyakarta secara
menyeluruh. Masyarakat jangan sampai silau dengan janji-janji yang muluk-muluk
saat kampanye. Apalagi memilih dikarenakan amplop yang berisi uang jumlahnya
tidak seberapa. Sebab pemimpin yang melakukan strategi semacam itu, pasti
nantinya akan bekerja untuk keuntungan dan kepentingan pribadi maupun
kelompoknya. Masyarakat akan menjadi orang terakhir yang diperhatikan setelah
dirinya dan koloninya sukses. Bagaimana menurut anda?
Jaman sekarang,
politik uang sudah sangat kuno, sebab hal paling utama dalam menarik simpati
masyarakat adalah kekuatan hubungan antara pemimpin dan masyarakatnya. Bukan
janji dan program yang akhirnya tidak bisa direalisasikan karena alasan
keterbatasan anggaran pemerintah. Masyarakat sudah jenuh dengan janji-janji dan
wacana baik dari tim sukses maupun dari calon itu sendiri. Hal itu banyak
dibuktikan pada pemilihan kepala daerah di kota atau kabupaten lain. Incumbent
banyak yang tumbang karena pada masa kampanye dan masa pemerintahannya
kebanyakan janji. Masyarakat sudah tidak bisa dibodohi dengan janji dan program
kesejahteraan. Tetapi tindakan riil dari pemimpin, terutama apa yang sudah
disampaikan pada masa kampanye. Masyarakat ingin dilayani, bukan dijanjikan.
Masyarakat minta diayomi dan diperhatikan dari setiap persoalan yang sedang
terjadi di lingkungannya. Tetapi bukan berarti masyarakat juga bisa menuntut
seenaknya kepada pemimpinnya, sebab prosedur pemerintahan juga harus tetap
dijalani.
Kepada Kota
Yogyakarta, selamat menyongsong pesta demokrasi dalam memilih pemimpin baru.
Masyarakat merindukan dan mengharapkan pemimpin yang pembangun daerahnya
disegala aspek. Selamat berjuang bagi para calon-calon yang akan bertarung
dalam pesta demokrasi tahun 2017. Sosialisasi yang santun dan penuh
persaudaraan akan meberikan simpatik yang baik bagi masyarakat. Visi dan misi
yang mempunyai kekuatan memajukan daerah dengan program-program ungulan adalah hal
wajib disusun jauh-jauh hari. Sebab menurut saya hal itu salah satu faktor
penentu keberhasilan bagi pasangan calon yang akan maju. Pendekatan-pendekatan
santun terhadap masyarakat saya pikir mempunyai kekuatan yang lebih unggul
ketimbang mengumpulkan masa di lapangan. Masyarakat tidak semua simpatik dengan
kampanye terbuka yang terkadang justru memberikan cacat terhadap pasangan
sendiri. Sebab kegiatan semacam itu sering menimbulkan konflik hingga
menimbulkan penurunan simpatik dari masyarakat. Para calon yang akan bertarung
harus mempunyai setrategi yang lebih elegan dan santun. Turun langsung ke
masyarakat saya pikir jauh lebih efektif dalam mencari simpati, namun hal ini
memang jarang dilakukan oleh calon secara langsung. Justru tim sukses yang
datang ke masyarakat dengan menyampaikan janji-janji yang terkadang calonnya
sendiri tidak tahu apa yang disampaikan timnya ke masyarakat. Banyak juga
kejadian money politik atau pembagian barang ke masyarakat oleh pendukung
calon. Tetapi saat terjadi laporan masyarakat atas kejadian itu, tim sukses
maupun calon mengelak dan bersikap tidak tahu-menahu.
Mari kita
sukseskan bersama pemilihan pemimpin Kota Yogyakarta dengan damai dan penuh
kearifan. Jangan berikan pendidikan buruk terhadap masyarakat pemilih, apalagi
Kota Yogyakarta banyak pemilih pemula. Kalau para calon yang ikut kompetisi
memulai dengan pembagian amplop dengan misi tertentu maka secara tidak langsung
calon atau tim sukses tersebut sudah memberikan pembodohan terhadap
masyarakatnya sendiri. Salam damai dan selamat bertarung tahun 2017, menuju
Kota Yogyakarta yang mempunyai pemimpin pembangun.
Isuur Loeweng
Suroto
Tinggal di
Yogyakarta
Museum,
Masyarakat dan Pariwisata
Museum, ketika
membaca kata itu kita akan segera menuju benda-benda sejarah yang penuh
historis. Namun dibalik itu adalah yang membuat kita mengelus dada, sebab tidak
kita pungkiri, obyek wisata yang berupa Museum akan selalu sepi dari obyek
wisata lainnya. Dewasa ini tempat wisata, seperti rumah makan, watter boom,
agro wisata lebih menarik daripada museum yang sebenarnya menyimpan ilmu yang
tidak ternilai.
Kenapa sebab?
Menurut
pemikiran saya, museum sudah tidak menarik dengan kemasan yang statis, dari
mulai berdirinya hingga kurun waktu yang lama. Dengan dasar seperti itu
masyarakat merasa bosan untuk datang ke museum. Padahal bila kita lihat hampir
semua museum yang ada di Yogyakarta bangunan fisiknya tidak ada yang tidak
layak dikunjungi. Semua hampir dalam kondisi sempurna. Kenapa hal itu tidak
membuat tertarik untuk berkunjung dan menghabiskan sedikit waktunya untuk
menikmati koleksi museum. Padahal masyarakat selalu saja mencari sesuatu yang
baru sebagai pengobat kejenuhan sehari-hari. Tercatat ada sekitar 55 museum
yang tersebar di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut tentunya akan banyak
menemukan hal-hal yang berbeda. Tetapi kalau hanya mendatangi museum, dengan
obyek yang tidak pernah berubah, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali
mereka yang sedang mengadakan penelitian tentang benda bersejarah. Itupun hanya
akan mendapatkan data kasar, sebab mereka tidak bisa melakukan penelitian
secara detail, disebabkan fasilitas di museum untuk melakukan penelitian tidak
memadahi, bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Sebenarnya
banyak hal yang bisa dikembangkan oleh pihak museum, tentunya untuk menunjang
daya tarik masyarakat. Sebab kalau hanya itu-itu saja akan membosankan.
Tentunya hal semacam itu tidak mudah dilakukan oleh pihak museum sendiri. Sebab
museum merupakan sebuah lembaga pamerintah yang tidak mudah untuk memutuskan
sesuatu secara sepihak. Lain halnya dengan museum milik pribadi atau swasta dan
tempat pariwisata milik swasta. Apapun yang akan mereka lakukan adalah hak
mutlak tanpa harus banyak pertimbangan banyak lembaga di atasnya.
Sebenarnya
banyak trik sebagai daya dorong masyarakat mengunjungi museum. Namum hal itu
tentunya juga akan dipertimbangkan oleh museum sendiri. Sebagai orang di luar
lingkungan museum hanya mampu memberikan gambaran, namun tidak ada kewenangan
untuk andil dalam pemutusan apa yang akan dikerjakan oleh lembaga tersebut.
Problematika soal Museum sangatlah komplek, hal itu yang mendasari juga
masyarakat merasa begitu enggan datang ke museum. Yogyakarta adalah kota Budaya
dan Pendidikan. Hal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan bagi semua pengelola
Museum untuk menjadikan museum tempat pendidikan non formal.
Pernahkah
terbayangkan oleh para pemangku kebijakan, ketika kemajuan jaman semakin maju kedepan
museum hanya akan menjadi sebuah kenangan. Ada alasan lain mengapa berpendapat
demikian. Yogyakarta yang notabene kota Buadya, Pariwisata dan Pendidikan masih
mengandalkan kota lain dan hal-hal yang baru untuk menarik wisatawan domestik
maupun mancanegara untuk datang. Saat ini dipungkiri atau tidak, Museum menjadi
tujuan wisata paling terakhir untuk didatangi para pelancong atau
sekolah-sekolah yang melakukan study Tour ke Yogyakarta. Kenapa hal ini menjadi
biasa saja dalam kacamata pemangku kebijakan. Para pelancong lebih
kecenderungan akan datang ke pantai, Malioboro atau tempat wisata lain. Bahkan
tempat penyimpanan sejarah bangsa itu harus dikaahkan daya tariknya oleh
gerai-gerai oleh-oleh maupun toko-toko kaos. Sebagai salah satu bukti kurangnya
minat masyarakat untuk datang ke museum adalah dibentuknya duta museum untuk
mempromosikan museum itu sendiri. Tetapi yang menjadi pertanyaan, setelah
adanya duta, berapa kenaikan prosentase yang datang ke museum untuk belajar
atau sekadar melihat benda sejarah.
Sebagai kota
wisata mestinya museum-museum di Yogyakarta tidak perlu cemas dalam hal
pengunjung. Tetapi kondisi di lapangan ternyata berbading arah dengan
semestinya. Salah satu metode yang menarik mungkin, museum harus menjadikan
tempat tersebut sebagai tempat pendidikan non formal. Semisal penggalian
sejarah benda-benda koleksi museum dan bekerjasama dengan daerah lain. Selain
itu juga bisa dimanfaatkan sebagai wadah-wadah untuk belejar berkesenian bagi
warga sekitar museum maupun masyarakat secara luas. Semisal museum kekayon ada
pendidikan non formal tentang bagaimana membuat wayang, mendalang atau
sejenisnya yang berkaitan dengan dunia wayang. Bagitu juga museum-museum yang
lain. Hal itu minimal akan memberikan dampak baik bagi pengetahuan sejarah
koleksi museum itu sendiri. Kalau tidak ada terobosan yang membuat masyarakat
merasa tertarik untuk datang ke museum, sama halnya museum bunuh diri
pelan-pelan. Padahal barang-barang sejarah yang nilainya tidak terhingga itu,
tak mempunyai arti lebih berada di museum.
Kemudian langkah
selanjutnya adalah kerjasama dengan jasa periwisata”travel” untuk mempromosikan
museum sebagai salah satu obyek wisata yang menarik. Sebab keberadaan trevel
sangat menguntungkan bagi semua obyek wisata di suatu daerah. Melaluipaket-paket
wisata yang ditawarkan pihak travel. Diluar itu promosi pemerintah melalui
pameran-pameran keluar daerah juga penting, walau kenyataan saat ini hal itu
belum begitu berhasil. Sebab tidak semua barang koleksi dibawa, hal itu hanya
sebagai pancingan saja untuk menarik wisatawan datang ke museum karena belum
melihat semua koleksi saat pameran di luar museum.
Banyak langkah
yang bisa dilakukan pemerintah maupun museum untuk berpromosi. Salah satunya
adalah dengan menggunakan media cindera mata yang khas. Sebut saja kaos,
gantungan kunci, pin dan lain-lain. Pihak museum harus banyak belajar dari
ritel-ritel penjual cinderamata, banyak trik yang bisa dilakukan agar
masyarakat juga tertarik dengan cinderamata milik museum. Semisal desain dan
kalimat-kalimat yang membuat masyarakat tertarik. Barang-barang itu adalah
media promosi dengan dua keuntungan. Keuntungan yang pertama adalah pihak
tempat wisata mendapatkan finansial dari penjualan cindera mata tersebut.
Sedangkan keuntungan kedua adalah, pada saat cindera mata dipakai oleh yang
bersangkutan secara tidak langsung obyek wisata dipromosikan olehnya.Memang
perlu pemikiran yang matang ketika akan melakukan spekulasi, sebab semua itu
memerlukan anggaran. Namun kalau museum tidak berani memulai dan hanya bersikap
mengalir saja, saya yakin benda-benda sejarah yang ada di dalamnya akan semakin
dilupakan masyarakat.
Kemudian dalam
konteks pendidikan sejarah, museum harus memiliki data penunjang yang komplit
dan tertata rapi. Sebab hal itu akan menjadi bidikan para mahasiswa maupun
peneliti-peneliti sejarah yang sedang melakukan kajian maupun penelitian.
Dengan begitu ketika banyak masyarakat yang berkunjung tidak akan kecewa jika
mereka membutuhkan refrensi tentang benda-benda koleksi. Museum juga dituntut
mempunyai program untuk masyarakat secara luas dan terbuka, sebab masyarakat
akan mendapatkan pengetahuan kebudayaan dari program tersebut. Sebab mengingat
latar belakangnya museum adalah sebuah instansi yang unik dan sumber sejarah.
Maka dari itu menurut pemikiran saya, kegiatan yang harus dilakukan oleh museum
adalah membuat program yang unik dan bernilai sejarah. Membongkar
masalah-masalah sejarah dalam bentuk diskusi dan seminar, sambil
mensosialisasikan koleksi museum. Tentunya dengan manajemen yang berkualitas.
Sebab untuk mencapai tugas mulia museum, sebagai pelestari benda-benda sejarah,
manajemen yang baik itu sangat penting. Langkah selanjutnya adalah
mensinergikan pemikiran seluruh pamong museum dalam membuat program yang akan
diajukan kepada dinas terkait. Sebab hal itu akan menjadi pendukung utama dalam
melaksanakan program tersebut.
Dengan langkah
itu saya yakin museum akan lebih banyak pengunjung yang datang, sebab hanya
museum yang mempunyai program membongkar sejarah. Bagaimana menurut anda?
Daftar pustaka
– Google com
– Bulletin
Bandarmasih nomor 23,volume 1 2009
– Buku besar
Sejarah Banjar
– Ayatrohedi,
SUNDAKALA, Buku cuplikan sejarah sunda.
– Nina h Lubis,
Buku “Banten dalam Pergumulan Sejarah
_ Kedaulatan
Rakyat, 25 April 2016, Liputan Khusus Museum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar